Sabtu, 08 Februari 2014

persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia memiliki kebudayaan yang beraneka ragam yang merupakan hasil dari kreatifitas kesenian di masing-masing daerah. Keaneragaman kesenian itu ditandai adanya persamaan dan perbedaan yang menandai ciri khusus perkembangan dari tradisi masing-masing. Kesenian merupakan salah satu perwujudan kebudayaan. Kesenian juga selalu mempunyai peranan tertentu di dalam masyarakat. Demikian pula di Indonesia, kesenian dapat ditinjau dalam konteks kebudayaan maupun kemasyarakatan. Ditinjau dalam konteks kebudayaan, ternyata bahwa berbagai corak ragam kesenian yang ada di Indonesia ini terjadi karena adanya lapisan-lapisan kebudayaan yang bertumpuk dari zaman ke zaman. Disamping itu, keanekaragamanan corak kesenian di sini juga terjadi karena adanya berbagai lingkungan budaya yang hidup berdampingan dalam satu masa sekarang ini. Sedangkan jika ditinjau dalam konteks kemasyarakatan, ternyata bahwa jenis-jenis kesenian tertentu mempunyai kelompok-kelompok pendukung tertentu. Demikian pula kesenian bisa mempunyai fungi-fungsi yang berbeda di dalam kelompok-kelompok manusia yang berbeda. Perubahan fungsi dan perubahan bentuk pada hasil-hasil seni dengan demikian dapat pula disebabkan oleh dinamika masyarakat. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbada budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari. Salah satu unsur kebudayaan adalah kesenian. Kesenian merupakan salah satu kreativitas dari kebudayaan yang dasar penciptaannya memiliki ciri-ciri khusus yang menjadi identitas daerah tersebut. Kesenian Jaran Kepang adalah sebuah kesenian yang menyatukan antara unsur gerakan tari dengan magis. Jenis kesenian ini dimainkan dengan properti berupa kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu atau kepang. Mengenai asal-usul dari kesenian Jaran Kepang ini, tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan dengan rinci, hanya cerita-cerita verbal yang berkembang dari satu generasi ke generasi lain. Pertunjukan Jaran Kepang, juga menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural yang bersuasana magis, seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Atraksi seni ini mengekspresikan kekuatan supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di lingkungan kerajaan-kerajaan Jawa, dan merupakan aspek bukan militer yang dipergunakan untuk melawan pasukan Belanda. Selain itu, dalam rangka hubungan antara bangsawan dan rakyat kebanyakan, lahirnya Jaran Kepang tidak terlepas dari perbedaan kesenjangan yang cukup besar antara golongan kaum kraton atau kelas atas yang mempunyai kebudayaan adi luhung (super culture, high culture) yang berkembang di kerajaan, dengan golongan kaum bawah yang mempunyai kebudayaan rakyat (folk culture) yang umumnya berkembang di desa-desa. Akibat kesenjangan ini, timbullah perselisihan antara dua golongan tersebut, yang tentu saja golongan kelas bawah yang banyak mendapat kerugian. Kemudian timbullah perasaan tertekan yang semakin lama semakin mendalam, yang akhirnya timbul keputusasaan dan pasrah karena tidak dapat berbuat apa-apa sehingga menimbulkan kompensasi dan timbul ketegangan-ketegangan.Untuk melepaskan atau sekedar melupakan perasaan tertekan tersebut, walaupun hanya sesaat, maka rakyat kebanyakan menciptakan seni sebagai wujud ketertekanan sosial yang dilakukan pihak bangsawan, yaitu melalui seni Jaran Kepang. Kesenian tradisional Jawa berupa kesenian Jaran Kepangtersebut masih cukup ampuh untuk mengenalkan budaya Jawa kepada masyarakat, dan merupakan salah satu benteng budaya bangsa. Karena dengan terus memelihara dan mengembangkan warisan kebudayaan sendiri, dapat memperkuat kepribadian, mempertebal rasa percaya diri yang dapat menambah rasa Cinta Tanah Air dan bangsa, serta rasa percaya diri yang merupakan kekuatan pembangunan. Bentuk kesenian tradisional Jaran Kepang khususnya bagi masyarakat Kedung Pucang murni menyajikan hiburan dan tontonan bagi masyarakat sekitarnya tanpa diselipi kepentingan-kepentingan lainya seperti agama ataupun politik. Disisi lain pertunjukan Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”memiliki keunikan tersendiri seperti bentuk tarian, cara penyajian, dan dalam bidang iringannya yang masing-masing daerah berlainan sehingga sangat menarik untuk diteliti. Fungsi dari Kesenian Jaran Kepang tersebut yang terlihat pada masyarakat Desa Kedung Pucang dan sekitarnya, Jaran Kepang masih digemari dan diminati karena menampilkan tontonan yang menonjolkan tindakan-tindakan yang terkadang sangat berbahaya dan sulit diterima nalar. Hal ini sesungguhnya tidak masuk akal tetapi nyata adanya. Jaran Kepang“Mudo Langen Budoyo”di Desa Kedung Pucang mempunyai ciri khas dan perbedaan dengan Jaran Kepang yang berada di desa-desa sekitar di wilayah Kabupaten Purworejo. Setiap dalam acara di Desa seperti, khitanan, nikahan, dan hajatan-hajatan lainnya, kesenian Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” sering diundang untuk menampilkan pertunjukan kesenian tersebut. Mengingat kesenian tradisional daerah bisa punah keberadaanya maka kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, perlu dilestarikan dan dikembangkan. Berdirinya kesenian Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” ini juga untuk mengumpulkan para pemuda supaya tidak terbawa ke dalam pergaulan bebas. Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisioanl Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang,Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Selain itu belum pernah atau belum ada yang meneliti pertunjukan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo tersebut. Kesenian Jaran Kepang tersebut mempunyai keunikan yaitu (a) sebelum acara dimulai diadakannya tabur menyan bertujuan untuk meminta izin supaya diberikan kelancaran dalam acara pertunjukan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”, (b) ritual tersebut menyangkut tempat, waktu serta unsur-unsur ritual seperti doa-doa atau mantra-mantra, sesaji dan kepercayaan terhadap roh leluhur pendiri desa,(c) pemahaman masyarakat tentang kesenian ini lebih didasarkan karena kesenian ini merupakan warisan leluhur yang diturunkan secara turun-temurun, serta sebagai upaya untuk melestarikan kebudayaan daerah, (d) adanya keterbukaan dari pihak paguyuban kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” sehingga memungkinkan lancarnya dalam memperoleh informasi atau data yang berkaitan dengan penelitian. Oleh karena itu, peneliti akan mengangkat persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang”Mudo Langen Budoyo”. Khususnya kesenian tradisional Jaran Kepang yang ada di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti dapat mengidentifikasi beberapa masalah yaitu: 1. Sejarah mengenai asal-usul dari kesenian Jaran Kepang ini, tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan dengan rinci, hanya cerita-cerita verbal yang berkembang dari satu generasi ke generasi lain. 2. Kesenian tradisional Jaran Kepang tersebut masih cukup ampuh untuk mengenalkan budaya Jawa kepada masyarakat yaitu dengan terus memelihara dan mengembangkan warisan kebudayaan sendiri, dapat memperkuat kepribadian, mempertebal rasa percaya diri yang dapat menambah rasa Cinta Tanah Air dan bangsa, serta rasa percaya diri yang merupakan kekuatan pembangunan. 3. Bentuk kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” khususnya bagi masyarakat Kedung Pucang murni menyajikan hiburan dan tontonan bagi masyarakat sekitarnya tanpa diselipi kepentingan-kepentingan lainya seperti agama ataupun politik. 4. Berbagai macam sesaji dalam pertunjukan kesenian tradisional Jaran Kepang“Mudo Langen Budoyo”di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. 5. Fungsi adanya kesenian Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang tersebut yang terlihat pada masyarakat Desa Kedung Pucang dan sekitarnya, Jaran Kepang masih digemari dan diminati karena menampilkan tontonan yang menonjolkan tindakan-tindakan yang terkadang sangat berbahaya dan sulit diterima nalar. C. Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah yang ada tersebut, maka perlu diadakan pembatasan masalah. Peneliti membuat batasan-batasan masalah agar bisa memberikan gambaran yang jelas dantidak menyimpang jauh dari yang dikehendaki. Batasan masalah tersebut adalah persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. D. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti menentukan rumusan permasalah yaitu sebagai berikut : 1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo? 2. Bagaimana perkembangan tentang kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo? 3. Apa fungsi adanya kesenianJaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo? E. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan tentang : 1. Untuk mengetahui bagaimana persepsi masyarakat tentang kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. 2. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan kesenian tradisional dalam pertunjukan Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. 3. Untuk mengetahui bagaimana fungsi kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. F. Manfaat Penelitian Penelitian ini bermanfaat secara teoretis dan praktis. Secara teoretis ini bermanfaat untuk memperkaya khasanah penelitian pengetahun budaya, khususnya tentang persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian Jaran Kepang ’’Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo.Selain itu sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti berikutnya yang ingin meneliti tentang kesenian tradisional Jaran Kepang“Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Manfaat praktis penelitian ini yaitu dapat memberikan informasi dan menambah pengetahuan kepada masyarakat luas dan pembaca pada umumnya, adanya kesenian tradisionl Jaran Kepang“Mudo Langen Budoyo”dalam upaya melestarikan dan mengembangkan kesenian tradisional yang ada di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. G. Sistematika Skripsi Sistematika penelitian ini disajikan sebanyak lima bab yang setiap bab mencakup beberapa subbab. Untuk mempermudah pembaca, maka penulis mencantumkan sistematika skripsi yang akan diuraikan sebagai berikut: Bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari tujuh subbab yaitu: (1) Latar Belakang Masalah, (2) Identifikasi Masalah, (3) Batasan Masalah, (4) Rumusan Masalah, (5) Tujuan Penelitian, (6) Manfaat Penelitian, dan (7) Sistematika Skripsi. Bab II merupakan landasan teori yang terdiri dari dua subbab yaitu (1) Tinjauan Pustaka, dan (2) Kajian Teoretis. Bab III adalah metode penelitian yang terdiri dari delapan subbab yaitu (1) Tempat dan Waktu Penelitian, (2) Jenis Penelitian, (3) Sumber Data dan Data, (4) Teknik Pengumpulan Data, (5) Instrumen Penelitian, (6) Teknik Keabsahan Data, dan (7) Teknik Penyajian Data. BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORETIS A. Tinjauan Pustaka Terdapat beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini yaitu dilakukan oleh: 1. Marwoto (2004) dalam skripsi dengan judul “Perbedaan Orang Tua dan Remaja Desa Banyubiru Kabupaten Semarang Terhadap Kesenian Kuda Lumping” secara khusus membicarakan tentang perbedaan signifikan antara minat orang tua dan remaja Desa Banyubiru Kabupaten Semarang terhadap kesenian Kuda Lumping tahun 2004. Persamaan dengan persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo adalah sama-sama menggunakan jenis penelitian kualitatif dan menggunakan metode deskripstif kualitatif. Perbedaannya adalah Marwoto menekankan penelitiannya pada perbedaan signifikan antara minat orang tua dan remaja Desa Banyubiru Kabupaten Semarang terhadap kesenian Kuda Lumping, sedangkan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” lebih cenderung pada persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” tersebut. 2. Penelitian Abdul Ngalim (2010) dalam skripsi “Studi Kasus Tentang Perilaku Kesurupan Dalam Seni Kuda Lumping Rama Nitis dan Turangga Wulung Menurut Pandangan Agama Islam Di Kabupaten Purworejo Tahun 2010” secara khusus membicarakan tentang (1) bentuk tarian kuda lumping di Kabupaten Purworejo, (2) perkembangan kuda lumping di Kabupaten Purworejo, (3) arti kesurupan dalam kesenian kuda lumping, dan bagaimana perilaku tersebut dalam pandangan agama Islam. Persamaan dengan persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo adalah sama-sama menggunakan jenis penelitian kualitatif dan menggunakan metode deskripstif kualitatif. Perbedaannya adalah Abdul Ngalim menekankan penelitiannya pada pandangan agama Islam terhadap peristiwa kesurupan dalam kesenian kuda lumping, sedangkan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” lebih cenderung pada persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” tersebut. 3. Eko Purwanto (2002) dalam penulisan skripsi dengan judul “Kesenian JarananTuronggo Seto Di Tenggumung Baru Selatan Kelurahan Pegirian Kecamatan Semampir Kota Surabaya” secara khusus membicarakan tentang (1) latar belakang timbulnya kesenian jaranan Turonggo Seto di Tenggumung Baru Selatan, (2) bentuk penyajian kesenian jaranan Turonggo Seto di Temunggung Baru Selatan, (3) tentang fungsi kesenian jaranan Turonggo Seto di Temunggung Selatan Kota Surabaya. Persamaan dengan persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo LangenBudoyo di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo adalah sama-sama menggunakan jenis penelitian kualitatif dan menggunakan metode deskripstif kualitatif. Perbedaannya adalah Eko Purwanto menekankan penelitiannya pada jenis-jenis tarian yang ditampilkan, sedangkan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” lebih cenderung menekankan pada persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” tersebut. 4. Noviana Aji (2013) dalam penulisan skripsi adalah “Pertunjukan Jaran Kepang Turangga MudhaBudaya Dalam Tradisi Suran Di Desa Kemanukan, Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo” adalah (1) bagaimana pertunjukan kesenian jaran kepang Turangga Mudha Budaya yang meliputi pra pertunjukan, proses pertunjukan, dan pasca pertunjukan dalam tradisi suran, (2) Bagaimana makna simbolis yang terkandung dalam sesaji (ubarampe) pertunjukan jaran kepang dalam tradisi suran. Persamaan dengan persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo adalah sama-sama menggunakan jenis penelitian kualitatif dan menggunakan metode deskripstif kualitatif. Perbedaan pertunjukan jaran kepang Turangga MudhaBudaya dalam tradisi suran menekankan penelitiannya pada prosesi dan makna-makna simbolik yang terkandung dalam ubarampe yang dipergunakan untuk proses pelaksanaan pertunjukan,sedangkan pertunjukan Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” di DesaKedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo pada persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” tersebut. B. Landasan Teori 1. Kebudayaan Dalam kehidupan sehari-hari kita sering membicarakan soal kebudayaan tanpa disadari kita selalu berurusan dengan hasil-hasil kebudayaan. Kebudayaan merupakan perkembangan dari kata majemuk budi daya yang mempunyai arti daya dan budi. Dalam hal ini terjadi perbedaan antara budaya dan kebudayaan. Budaya berarti daya dari budi yang berupa cipta, rasa dan karsa sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, rasa dan karsa tersebut. Pengertian kebudayaan awalnya dari kata Yunani “colore,culture”, dalam bahasa Inggris disebut culture (kebudayaan) yang berbeda dengan kata civilization (peradaban). Kebudayaan (kultur) merupakan peradaban batin, yaitu kehalusan budi, keluhuran (ilmu) batiniah, ketinggian perkembangan ilmu pengetahuan dan kesenian. Dengan budaya manusia dapat menguasai, melihat, memahami, mengklasifikasikan gejala yang tampak sekaligus menentukan strategi terhadap lingkungannya. Definisi kebudayaan menurut Geertz dalam Sutardjo (2010: 11-12) berpendapat bahwa: Kebudayan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini kebenaranya oleh orang yang bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasan dan emosi-emosi manusia serta menjadi sumber bagisistem penilaian sesuatu yang baik dan buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih atau kotor, dan sebagainya. Hal ini bisa terjadi karena kebudayaan itu diselimuti oleh nilai-nilai moral, yang sumbernya adalah pandangan hidup dan etos atau sistem yang dipunyai oleh setiap manusia. Menurut ilmu antropologi, “Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”. (Koentjaraningrat, 2009: 144). Kebudayaan dikemukakan oleh Soebadio dalam Sutardjo (2010: 12) menjelaskan kebudayaan merupakan sistem nilai dan gagasan utama. Sistem dan nilai gagasan utama sebagai hakikat kebudayaan terwujud dalam tiga sistem budaya, yaitu sistem ideologi, sosial, dan sistem teknologi. Dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan dimana kebudayaan selalu berhubungan dengan manusia yang dengan sendirinya antara kebudayaan dan manusia mempunyai hubungan yang erat dan kebudayaan tidak ada begitu saja tanpa adanya olah pikir manusia dalam berbagai sistem. Dengan kata lain, bahwa kebudayaan merupakan hasil pemikiran manusia. 2. Folklor Kata folklor berasal dari kata majemuk bahasa Inggris folklore, yang terdiri atas kata folk dan lore. Kata folk berarti kolektif atau kebersamaan. Kata lore berarti tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Menurut Purwadi (2009: 2) bahwa folklor dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya dengan suka rela dan penuh semangat, tanpa ada paksaan. Menurut Endraswara (2010: 4) berpendapat bahwa: Folklor Jawa adalah segala karya tradisi yang telah diwariskan dan berguna bagi pendukungnya. Folklor Jawa sebagai suatu karya milik kolektif besar orang Jawa.Orang Jawa mengakui secara sadar atau tidak bahwa dirinya memiliki folklor. Hal ini ditunjukkan oleh sikap memiliki (handarbeni) dan ingin memelihara folklor tersebut. Pengertian di atas maka dalam persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” yang berada di Desa Kedung Pucang merupakan sebuah folklor yang dimana diwariskan secara turun temurun. Melengkapi pendapat tentang folklor, adapun istilah folklor Jawa yang mencakup tentang tradisi atau kesenian di daerah Jawa. Folklor Jawa ini ada karena banyaknya hasil karya tradisi yang ada pada masyarakat Jawa. a) Ciri- ciri Foklor Folklor Jawa dapat diberikan ciri khas diantaranya: (1) disebarkan secara lisan, artinya dari mulut ke mulut, dari satu orang ke orang lain, dan secara ilmiah tanpa paksaan, (2) nilai-nilai tradisi Jawa sangat menonjol dalam folklor, (3) dapat bervariasi antara satu wilayah, namun hakikatnya sama, (4) pencipta dan pengarang folklor tidak jelas siapa dan darimana aslinya, (5) cenderung memiliki formula dan rumus yang tetap dan ada yang lentur, maksudnya ada rumus yang tak berubah-ubah sebagai pathokan dan ada yang berubah-ubah tergantung kepentingan, (6) mempunyai kegunaan bagi pendukung atau kolektiva Jawa, (7) kadang-kadang mencerminkankan hal-hal yang bersifat pronologis, (8) menjadi milik bersama dan tanggung jawab bersama, (9) mempunyai sifat polos dan spontan, (10) ada yang memiliki unsur humor dan wejangan (Suwardi Endraswara, 2010: 6). Menurut Purwadi (2009: 1-2) ciri-ciri folklor Jawa yaitu (1) milik masyarakat tradisional secara kolektif, (2) mengutamakan jalur lisan, dan (3) bersifat inovatif atau jarang mengalami perubahan. Folklor bisa meliputi dongeng, cerita, hikayat, kesenian dan busana daerah. Hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki folklor yang beraneka ragam. Beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri folklor di antaranya adalah milik rakyat yang ada secara turun-temurun, penyebarannya secara lisan, dan diakui milik bersama. Hal ini seperti persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang“Mudo Langen Budoyo” yang berada di Desa Kedung Pucang diakui oleh masyarakat sebagai milik bersama. b) Bentuk- bentuk Foklor Menurut Endraswara (2010: 25) bentuk folklor Jawa ada lima bentuk yaitu (1) folklor Jawa esoterik dan eksoterik artinya sesuatu yang memiliki sifat yang hanya dapat dimengerti oleh sejumlah besar orang saja. Folklor eksoterik adalah sesuatu yang dapat dimengerti oleh umum, tidak terbatas oleh kolektif tertentu, (2) folklor Jawa populer dan sakral artinya folklor sederhana, tetapi banyak diminati, sedang folklor Jawa sakral merupakan folklor serius yang membutuhkan waktu dan pemaknaan mendalam, (3) folklor sebagai media komunikasi budaya merupakan suatu bidang budaya yang ditandai sesuatu pergumulan dalam arti pemberian pengertian-pengertian yang telah dianggap baku dengan penciptaan baru, (4) metamorfosis folklor Jawa palsu yaitu dapat terjadi karena adanya migrasi, terutama yang timbul oleh kesenjangan dari seseorang untuk mengabadikan dan mendokumentasikan folklor, dan (5) folklor Jawa politik merupakan wahana ekspresi, pencipta folklor sengaja membangkitkan gairah politik agar mendapat perhatian berbagai pihak. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk folklor Jawa ada lima macam di antaranya bentuk folklor Jawa esoterik dan eksoterik. Populer dan sakral, palsu, politik, dan sebagai media komunikasi budaya.Secara umum bentuk folklor dibagi menjadi tiga yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan foklor bukan lisan.Seperti kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”Desa Kedung Pucang yang termasuk bentuk folklor sebagian lisan karena merupakan kepercayaan masyarakat merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. c) Fungsi Foklor Menurut Purwadi (2008: 3) folklor merupakan produk dari proses sinkretisasi antara berbagai unsur, diantaranya karena pengaruh hinduisme, Budhaisme dan Islam yang membentuk sebuah akulturasi kebudayaan. Proses tersebut amat menguntungkan bagi identitas lokal. Menurut Endraswara (2010: 2) folklor Jawa akan menjadi ciri atau identitas kejawaan yang membedakan dengan etnik lain. Jati diri orang Jawa akanmemupuk jiwa kolektif kejawaan. Kebanggaan kolektif atas folklor yang akan menciptakan kerukunan. Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi folklor Jawa adalah sebagai pembentukan identitas lokal, jati diri, dan kerukunan. Pembentukan identitas dalam folklor Jawa sangat berpengaruh pada setiap kebudayaan yang ada di Jawa. Oleh karena itu, folklor mempunyai peranan penting dalam suatu kelompok masyarakat atau sekelompok orang. 3. Persepsi atau tanggapan Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses pengindraan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indra atau juga disebut proses sensoris. Proses penginderaan akan berlangsung setiap saat, pada waktu individu menerima stimulus melalui alat indera, yaitu melalui mata sebagai alat penglihatan, telinga sebagai alat pendengar, hidung sebagai alat pembauan, lidah sebagai alat pengecapan, kulit pada telapak tangan sebagai alat perabaan; yang kesemuanya merupakan alat indera yang digunakan untuk menerima stimulus dari luar individu (Walgito, 2003: 87-88). Manusia diciptakan dengan dibekali dengan berbagai potensi, baik potensi jasmani maupun potensi rohani. Kedua potensi tersebut dapat dipisahkan dan dibedakan. Potensi rohani dapat terlihat pantulanya pada potensi jasmani yaitu dalam bentuk tingkah laku. Seseorang dapat menyadari dan mengenal hal-hal atau keadaan yang ada disekitarnya, dalam arti ia dapat melakukan dengan pengamatan. Gambaran-gambaran yang terjadi waktu pengamatan tidak akan hilang begitu saja, tetapi disimpan dibawah alam sadar kita, sehingga dapat dimunculkan kembali kapan dan dimana saja. Proses memunculkan dan membayangkan kembali gambaran hasil pengamatan ini dalam istilah psikologi dikenal dengan istilah tanggapan. Berbicara mengenai tanggapan itu sendiri dapat disimpulkan pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan dan memberi arti rangsangan yang masuk melalui indera-indera, seperti mata dan telinga. Jadi tanggapan adalah bayangan yang tinggal dalam ingatan kita setelah melalui proses pengamatan terlebih dahulu. Dalam proses pengamatan, tanggapan tidak terikat oleh tempat dan waktu. Pengamatan merupakan modal dasar dari tanggapan, sedangkan modal dari pengamatan adalah alat indera yang meliputi penglihatan dan penginderaan. Faktor-faktor yang berperan dalam persespi, yaitu (1) objek yang dipersepsi, (2) alat indera, syaraf, dan pusat susunan syaraf, (3) perhatian. Proses terjadinya persepsi objek menimbulkan stimulus, dan stimulus mengenai alat indera atau reseptor. Karena persepsi merupakan aktivitas yang integrated dalam diri individu, maka apa yang ada dalam diri individu akan ikut aktif dalam persepsi. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam persepsi dapat dikemukakan karena perasaan, kemampuan berpikir, pengalaman-pengalaman individu tidak sama, maka dalam mempersepsi sesuatu stimulus, hasil persepsi mungkin akan berbeda antara individu satu dengan individu lain. 4. Mayarakat Orang Jawa terbagi menjadi dua kultural, yaitu kebudayaan pesisir dan kebudayaan pedalaman atau kejawen. Kebanyakan orang Jawa adalah para petani yang hidupnya dipedesaan sekitar 70%, selebihnya 30% hidup di kota-kota. Masyarakat itu sendiri adalah sejumlah manusia yang merupakan satu kesatuan golongan yang berhubungan tetap dan mempunyai kepentingan yang sama. Bagi orang Jawa, kebudayaan bukan merupakan kesatuan yang homogen, dan orang-orang Jawa menyadari akan adanya keanekaragaman yang sifatnya regional yang meliputi daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Oleh karena itu budaya bersifat heterogen, yaitu sifat dan watak pendukungnya memiliki perbedaan satu dengan lainya. Masing-masing memiliki individualitas yang kuat dan tidak ada yang “khas Jawa”. Kebudayaan Jawa yang bersifat heterogen tersebut mempunyai watak dan tabiat masyarakatnya juga beragam. Ada yang kalem, ada yang cekatan, ada yang klelar-kleler, ada yang rajin, ada yang polos, ada yang berbelit-belit, ada yang sombong/angkuh, ada yang terbelakang, ada yang modern, ada yang memiliki kepedulian tinggi, ada yang cuek, ada yang mengelompok, ada yang menyendiri, dan sebagainya, pokoknya ragam watak dan tabiatnya komplit (Sutardjo, 2010: 33). Sehingga, watak dan tabiat orang Jawa itu berbeda-beda beraneka ragam karakter dan sifat maka ada istilah yaitu tidak dapat “digebyah uyah” (tidak dapat digeneralisasi). a. Struktur Masyarakat Jawa Manusia Jawa memiliki budaya dan identitas secara jelas, dan identitas budaya itu sebagai ciri khas yang dimulai sejak zaman kerajaan. Akan tetapi, dizaman sekarang/modern identitas tersebut telah banyak berubah seiring dengan adanya pengaruh budaya luar, sehingga budaya Jawa mengalami erosi. Maka muncul istilah “Wong Jawa ilang Jawane” (orang Jawa telah kehilangan kejawaannya).Artinya, banyak orang Jawa telah kehilangan identitas primernya.Orang Jawa dibedakan menjadi dua kelompok sosial ekonomi, yaitu: (1) Kaum Priyayi, yaitu terdiri priyayi rendah (pegawai rendah/intelektual), dan priyayi tinggi/priyagung (pejabat), (2) Wong Cilik, yaitu para petani di pedesaan dan orang-orang yang berpendapatan rendah di kota-kota. Orang Jawa dibedakan menjadi dua kelompok sosial-keagamaan, yaitu: (1) Kaum Santri, yaitu orang Jawa yang hidupnya berusaha sesuai ajaran Islam (Islam aktif dan taat), (2) Kaum Abangan, yaitu orang Jawa yang beragama Islam pasif sebagai pemilik tradisi budaya, dan non Islam, yaitu orang Jawa yang telah berpindah dari agama Islam ke agama lain. Secara antropologis Orang Jawa dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) Kaum Priyayi, yaitu orang-orang Jawa ningrat yang masih memiliki keturunan atau keluarga keraton, (2) Kaum Santri, yaitu orang-orang Jawa Islam yang hidupnya lebih didominasi pengamalan agama Islam, (3) Kaum Abangan, yaitu orang Jawa yang berasal dari kalangan bawah (bukan santri ataupun bukan priyayi), (Sutardjo, 2010: 35). b. Bentuk Masyarakat Jawa Bentuk masyarakat Jawa yaitu a) Masyarakat Kekeluargaan yaitu sekumpulan manusia yang merupakan suatu kesatuan yang lekat terikat satu sama lain oleh norma-norma hidup karena sejarah, tradisi maupun religi, b) Masyarakat Gotong yaitu royong penerus dari hidup adalah kekeluargaan dan semangat gotong royong => koperasi, arisan, trah, paguyuban => tata tentrem karta raharja, gemah ripah, c) Masyarakat Berketuhanan yaitu animisme dinamisme – Hindu: Dewa (Trimurti) mengusai alam. Budha – Islam – Nasrani => Tuhan Yang Maha Esa => Religi (Sutardjo, 2010: 37). 5. Kesenian Tradisional Kesenian merupakan salah satu penyangga kebudayaan yang berkembang menurut kondisi dari kebudayaan itu. Kesenian adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang tidak dapat terlepas dari masyarakat pendukungnya. Sebagai salah satu bagian dari kebudayaan, kesenian merupakan suatu kreativitas dari kebudayaan dan pada dasarnya semua bentuk kesenian berasal dianggap berasal dari ritual (kesukuan) Kuna. Kesenian Jawa merupakan refleksi estetis orang Jawa dalam berinteraksi dengan lingkungannya yang tidak terlepas dari pola kulturnya yang makrokosmis. Kesenian secara garis besar dibedakan menjadi dua, kesenian tradisional dan kesenian modern (Kasim Achmad dalam Sutardjo, 2010: 63). Kesenian tradisional merupakan kesenian yang lahir pada masa Indonesia belum merdeka dengan menggunakan dialek atau bahasa daerah, dan mempunyai identitas regional yang kuat, serta mempunyai pola dramatik tertentu yang dapat diduga sebelumnya. Kesenian tradisional juga berpijak pada sisi tradisi dan kontemporer, dimana kesenian tersebut mengandung nilai-nilai budaya yang mapan dalam kurun waktu bergenerasi. Menurut Kasim Achmad dalam Sutardjo, (2010: 65) berpendapat bahwa: Kesenian tradisional adalah “suatu bentuk seni yang bersumber dan berakar serta telah dirasakan sebagai milik sendiri oleh masyarakat lingkungannya. Pengolahannya didasarkan pada cita-cita masyarakat pendukungnya. Cita rasa di sini mempunyai pengertian yang luas, termasuk ‘nilai kehidupan tradisi’, pandangan hidup, pendekatan falsafah, rasa etis dan estetis serta ungkapan budaya hidup lingkungan. Hasil Kesenian tradisional biasanya diterima sebagai tradisi, pewaris yang dilimpahkan dari angkatan tua kepada angkatan muda”. a) Ciri-ciri Kesenian Tradisional Menurut Sutardjo (2010: 65) kesenian tradisional yang hidup dan berkembang di daerah-daerah mempunyai ciri khas sebagai berikut: (1) seni yang pengaruh dan keberadaanya pada batas-batas wilayah tertentu dan jangkauannya terbatas pada budaya penunjang, (2) seni yang sangat erat hubungannya dengan golongan ras, kesukuan, adat-istiadat maupun keagamaan, (3) merupakan bagian dari satu “cosmos” kehidupan yang bulat tanpa terbagi-bagi dalam pengkotakan spesialisasi, (4) hasil karya seninya bukan merupakan hasil kreativitas perseorangan, melainkan tercipta secara anonim bersamaan dengan sifat kolektif pendukungnya, (5) seninya bersifat fungsional dalam arti tema dan bentuk-bentuk ungkapan dan penampilannya tidak terpisahkan dari kepentingan “cosmos” yang menyeluruh itu, (6) perubahannya sangat lamban juga ada suatu kemapanan yang mengakar. b) Fungsi Kesenian Tradisional Fungsi kesenian tradisional lebih menekankan pada persoalan kehidupan masyarakat. Kesenian tradisional dalam perjalanan awal digunakan untuk upacara ritual, upacara keagamaan. Fungsi kesenian tradisional ditinjau dari etnik-etnik tertentu adalah sebagai berikut: (1) sebagai pemanggil kekuatan supranatural/gaib, (2) memanggil roh-roh baik untuk mengusir roh-roh jahat, (3) pemujaan pada nenek moyang dengan menirukan kegagahan atau kesigapan (4) pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkatan hidup seseorang, (7) pelengkap upacara sehubungan dengan saat-saat tertentu dalam perputaran waktu, (6) manifestasi untuk mengungkapkan keindahan semata. (Sutardjo, 2010: 65-66). 6. Jaran Kepang Jaran Kepang adalah salah satu bentuk seni pertunjukan rakyat yang secara umum cirinya menggunakan properti kuda kepang, yaitu kuda-kudaan yang dibuat dari bambu yang dianyam (Prihantini, 2008: 163). Menurut (Winarsih, 2008: 11) Jaran Kepang adalah seni tari yang dimainkan dengan menaiki kuda tiruan dari anyaman bambu (kepang). Dalam memainkannya biasanya diiringi dengan musik khusus yang sederhana karena hanya permainan rakyat, yaitu dengan gong, kenong, kendhang, dan slompret. Kesenian Jaran Kepang adalah suatu bentuk tari rakyat yang sangat terkenal didaerah Jawa Tengah, yang biasanyanya disajikan dalam bentuk drama tari atau fragmen yang ceritanya mengambil dari cerita panji atau menak.Bentuk kesenian Jaran Kepang adalah salah satu jenis kesenian tradisional yang ritual. Prihantini (2008: 164) mengungkapkan bahwa: Kesenian Jaran Kepang merupakan tari kelompok yang disajikan oleh 6-20 orang penari yang seluruhnya berperan sebagai prajurit berkuda, disertai dengan penari topeng. Kesenian Jaran Kepang sebagai suatu kesenian tradisional dalam pertunjukannya dilengkapi dengan pemain barongan (binatang berkepala harimau atau banteng) yang dimainkan oleh dua orang penari. Sajian pertunjukan Jaran Kepang biasanya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu jogedan/jathil, selingan, dan trance (kesurupan). Bagian jogedan/jathil disajikan oleh penari kelompok Jaran Kepang, bagian selingan disajikan oleh penari menggunakan topeng atau penthul-tembem dan bagian trance (kesurupan) disajikan oleh penari jaran kepang yang kemudian kesurupan atau karasukan roh. Menurut Prihantini (2008: 166) bentuk fisik atau bentuk sajian Jaran Kepang sebagai wujud ungkapan seniman dapat dilukiskan dengan perincian: a. Tarian b. Musik Tradisional c. Busana dan tata rias d. Tempat pementasan dan sesaji Seni pertunjukan Jaran Kepang merupakan bentuk tari yang dapat disajikan dengan menggunakan tema cerita yang menggambarkan keprajuritan. Gerak-gerak tari yang ditampilkan menunjukkan suasana gembira keprajuritan. Unsur lain yang dapat menunjang tema tampak pada penggunaan busana, tata rias, dan dengan diiringi gamelan. Kesenian Jaran Kepang merupakan suatu seni yang mendasarkan gerak tarinya pada unsur-unsur pantomim (dapat dilihat pada peniruan gerak penunggang kuda). Dari beberapa uraian pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa kesenian Jaran Kepang merupakan kesenian rakyat yang ada di daerah Jawa yang dilengkapi dengan kuda kepang serta dilakukan secara sadar dengan menggunakan tubuh sebagai unsur utama ditunjang unsur gerak, tari, lagu, dan disertai dengan magis. BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Lokasi penelitian yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah di paguyuban kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” yaitu di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Penelitian ini lebih menitik beratkan pada persepsi masyarakat dan perkembangan Jaran Kepang di Desa Kedung Pucang, Kecematan Bener, Kabupaten Purworejo. 2. Waktu Penelitian ini dilakukan selama enam bulan, yakni sejak awal penelitian. Dari pembuatan proposal sampai dengan laporan hasil penelitian. No. Kegiatan Waktu Penelitian Mar Aprl Mei Jun Jul Agst 1. Pembuatan proposal 2. Pengolahan data 3. Pemilihan data 4. Analisis 5. Pembuatan laporan 6. Hasil laporan B. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan tentang kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”di Desa Kedung Pucang ini menggunakan jenis metode penelitian deskriptif kualitatif. Bogdan dan Taylor dalam Moloeng (2012: 4) mendefinisikan: Metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu atau organisasi kedalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan. Penelitian kualitatif menurut Denzim dan Lincoln dalam Moloeng (2012: 5) menyatakan bahwa: Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Dalam penelitian kualitatif metode yang biasanya di manfaatkan adalah wawancara, pengamatan, dan pemanfaatan dokumen. Pernyataan Bogdan dan Biklen sejalan dengan Lincoln dan Guba dalam Ratna (2010: 102) yang mengemukakan bahwa: Penelitian kualitatif dilakukan pada latar alamiah atau pada konteks dari suatu keutuhan (entity). Peneliti langsung berfungsi sebagai instrument dengan konsekuensi terjadi partisipasi, refleksi, dan imajinasi peneliti. Pada penelitian kualitatif hasil penelitian bersifat deskripsi yang berupa kata-kata. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu perangkat Desa Kedung Pucang, pengurus paguyuban kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” Desa Kedung Pucang dan masyarakat Desa Kedung Pucang tersebut. Data adalah bentuk jamak datum. Data adalah unit tertentu yang diperoleh melalui suatu hasil pengamatan, sedangkan datum adalah bagian-bagian dari unit pengamatan tersebut. Menurut Kerlinger (dalam Ratna, 2010: 141) “data adalah hasil penelitian, baik yang diperoleh melalui pengamatan,wawancara, dan proses pemahaman lain, melaluinyalah ditarik inferensi”. Wujud data utama dalam penelitian ini berupa foto-foto, video, dan deskripsi tentang persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”. C. Sumber data dan Data Menurut Arikunto (2010:172) Sumber data dalam penelitian yaitu subjek dari mana data dapat diperoleh. Adapun sumber data yang dibutuhkan dalam penelitian dari instansi atau lembaga yang terkait dengan penelitian, dimana peneliti tidak langsung memperoleh data dilapangan. Data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata atau tindakan dan selebihnya adalah dokumentasi. Menurut Lofland dan lofland dalam Moleong, (2012: 157)mengatakan bahwa: Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lai. Berkaitan dengan hal itu pada bagian ini jenis datanya dibagi dalam kata-kata dan tindakan, sumber data tertulis, foto dan statistik. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu perangkat. Desa Kedung Pucang, pengurus paguyuban Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” Desa Kedung Pucang, dan masyarakat Desa Kedung Pucang.Data adalah bentuk jamak datum. Data adalah unit tertentu yang diperoleh melalui suatu hasil pengamatan, sedangkan datum adalah bagian-bagian dari unit pengamatan tersebut. Menurut Kerlinger (dalam Ratna, 2010: 141) “data adalah hasil penelitian, baik yang diperoleh melalui pengamatan, wawancara, dan proses pemahaman lain, melaluinyalah ditarik inferensi”. Wujud data utama dalam penelitian ini berupa foto-foto, video, dan deskripsi tentang persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”. D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini ada beberapa cara, agar data yang diperoleh merupakan data yang sahih atau valid, dan merupakan gambaran yang sebenarnya dari pertunjukan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo LangenBudoyo” di Desa Kedung Pucang. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik observasi, teknik wawancara, dan teknik dokumentasi. a. Teknik Observasi Observasi adalah suatu penelitian secara sistematis menggunakan kemampuan indera manusia (Endraswara, 2006: 133). Adapun jenis observasi yang peneliti gunakan adalah observasi non partisipan dan partisipan. Observasi non partisipan yaitu peneliti tidak turut ambil bagian dalam kegiatan yang diteliti. Metode ini sebagai kelengkapan dan penguat data yang telah diperoleh melalui wawancara. Sedangkan observasi partisipan mempunyai sifat sebagai tujuan dari observasi penelitian. Peneliti perlu jujur, meneliti secara keseluruhan apa yang menjadi gejala dari hal yang diteliti. Apabila peneliti menggunakan strategi dengan meneliti secara keseluruhan, maka peneliti harus dapat mengganti antara pendapat orang dalam (masyarakat pribumi) dengan apa yang dianalisis (Endraswara, 2006: 148). Disini peneliti datang pada saat pementasan Jaran Kepang namun tidak ikut terlibat dalam pertunjukan kesenian Jaran Kepang. Dalam penelitian ini hal yang di amati oleh peneliti adalah : a. Keterlibatan masyarakat Desa Kedung Pucang dalam pertunjukan kesenian Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”. b. Tarian penari Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”. b. Teknik Wawancara Mendalam Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu (Moleong, 2012: 186). Wawancara (interview) adalah cara-cara memperoleh data dengan berhadapan langsung, bercakap-cakapan, baik antara individu dengan individu maupun individu dengan kelompok (Ratna, 2010: 222). Bungin (2008: 108) mengemukakan bahwa: Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Peneliti mengadakan wawancara pendahuluan terlebih dahulu dengan mewawancarai orang-orang yang dapat memberikan informasi yang diperlukan dan valid sesuai dengan permasalahanyaitu penelitian tentang persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”. Peneliti sebelum mengumpulkan data di lapangan dengan teknik wawancara, sebaiknya menyusun daftar pertanyaan sebagai pedoman di lapangan. Namun daftar pertanyaan bukanlah sesuatu yang bersifat ketat, dapat mengalami perubahan sesuai kondisi dilapangan (Endraswara, 2006: 151). Teknik wawancara ini dilakukan dengan tanya jawab secara langsung dan dengan pihak yang terkait yaitu dengan judul penelitian persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”. Wawancara ini ditujukan kepada perangkat Desa Kedung Pucang, pengurus Paguyuban kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”, dan masyarakat Desa Kedung Pucang. Adapun pokok pertanyaan yang diajukan yaitu keadaan Desa Kedung Pucang, sejarah Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” dan persepsi masyarakat Kedung Pucang dengan adanya Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”, di Desa Kedung Pucang tersebut. c. Teknik Dokumentasi Dokmentasi merupakan metode pengumpulan data yang berupa kumpulan data yang telah diarsipkan baik berupa data angka, abjad, kliping, maupun foto-foto atau gambar. Arikunto (2006: 231) menyatakan bahwa: Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, gambar, dan sebagainya. Dokumentasi adalah pemberian atau pengumpulan bukti-bukti atau keterangan, kegiatan-kegiatan dalam masyarakat (Poerwadarminta, 2006: 299), sedangkan Menurut Moeloeng (2009:216) dokumentasi adalah cara pengumpulan data dengan mempelajari arsip atau dokumen-dokumen yaitu setiap bahan tertulis baik internal maupun eksternal yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Dari dokumen tersebut dilakukan kajian isi, sehingga diperoleh pemahaman melalui karakteristik. Dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan beberapa data berupa dokumen sebagai data pendukung. Dokumen yang didapatkan dari penelitian berupa : a. Struktur kelembagaan Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. b. Foto-foto hasil pertunjukan kesenian tradisional Jaran Kepang“Mudo Langen Budoyo”. E. Instrumen Penelitian Arikunto(2006 : 160) mengungkapkan bahwa : Instrumen penelitian adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih baik, dalam arti lebih cermat, lengkap, dan sistematis sehingga lebih mudah diolah. Untuk mendapatkan data-data yang valid dan objektif terhadap apa yang diteliti yaitu tentang persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo”, maka kehadiran penulis dilapangan dalam penelitian kualitatif sangat diperlukan. Kehadiran peneliti sebagai pengamat langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang akan diteliti sangat menentukan hasil penelitian, maka dengan cara riset lapangan sebagai pengamat penuh secara langsung pada lokasi peneliti dapat menemukan data secara langsung. Pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian menggunakan instrumen penelitian berupa pedoman observasi, pedoman wawancara, kamera foto, perekam dan buku catatan. F. TeknikKeabsahan Data Untuk memperoleh data yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah perlu dilaksanakanpemeriksaan keabsahan data. Teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi. Triangulasi adalah teknik keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk pengecekan atau sebagai perbandingan terhadap data yang diperoleh. Triangulasi dalam penelitian ini adalah triangulasi metode, atau cara pengumpulan data ganda yang antara lain adalah pengamatan, wawancara dengan para informan. 1. Triangulasi dengan sumber, metode ini menurut Patton dalam Moleong, (2012:330) adalah ‘‘membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat pertanyaan yang berbeda dalam penelitian kualitatif”. Penerapan metode ini dicapai dengan cara: a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara. b. Membanding kanapa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi. c. Membanding kanapa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannyasepanjang waktu. d. Membandingkan keadaandan perspektif dengan berbagai pendapat dan pandangan rakyat biasa, orang berpendidikan menengah atau berpendidikan tinggi, orang berada dan orang pemerintahan. e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. 2. Triangulasi dengan metode, dalam teknik ini terdapat dua strategi, yaitu: a. Pengecekan derajat kepercayaan temuan hasil penelitian dalam prosedur pengumpulan data. b. Pengecekan derajat kepercayaan sumber data dengan metode yang sama. G. Teknik Penyajian Data Penyajian data merupakan upaya penyusunan sekumpulan informasi ke dalam suatu matriks atau konfigurasi yang mudah di pahami, penyajian data yang mudah dipahami, penyajian data yang mudah dipahami adalah cara utama menganalisis data yang valid. Menurut Sudariyanto (1993: 145) metode penyajian data dibagi menjadi dua yaitu metode penyajian informal dan metode penyajian formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa walaupun dengan terminologi yang teknis sifatnya sedangkan penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang. Tanda yang dimaksud diantaranya: tanda tambah (+), tanda kurang (-), tanda bintang (*), tanda panah (), tanda kurung biasa (0), tanda kurung kurawal ({}), tanda kurung siku ([]). Teknik penyajian data terhadap persepsi masyarakat dan perkembangan kesenian tradisional Jaran Kepang “Mudo Langen Budoyo” di Desa Kedung Pucang, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo disajikan dengan metode informal dengan mengunakan kata-kata biasa.